Oleh Jro Gde Sudibya
Dalam sebuah kesempatan Menkeu Purbaya menyampaikan: harga BBM terlalu tinggi tidak sesuai dengan harga pokoknya. Sedangkan menyangkut subsidi listrik melontarkan pertanyaan: rakyat bayar listrik secara tunai tetapi PLN rugi, subsidi listrik dalam APBN terus membengkak, ada apa dalam manajemen PLN?.
Sebagai Menkeu yang menjadi "penjaga gawang" APBN, sehingga setiap rupiah uang negara dapat dipertanggungjawabkan kepada pemegang kedaulatan yakni rakyat, tantangan bagi Menkeu untuk membuka tabir gelap terhadap sejumlah akuntansi perhitungan: a) Berapa sebenarnya harga pokok per liter BBM sampai di tingkat SPBU, harga pokok yang menyangkut biaya per liter: minyak mentah (crude oil), biaya pengilangan, biaya transportasi dari gudang pengilangan ke gudang distribusi sampai ke tingkat eceran SPBU. Apakah ada perbedaan dalam perhitungan harga pokok produksi antara: produksi dalam negeri pemerintah yang diwakili Pertamina dengan harga pokok produksi dari minyak mentah (crude oil) yang diimpor, yang setiap hari impornya 1,2 juta barel. Transparansi perhitungan biaya produksi dan distribusi BBM ini begitu penting, yang menentukan besaran subsidi BBM per tahun yang berjumlah ratusan triliun rupiah.
b) Menyangkut subsidi listrik, sudah semestinya Direksi PLN, Danantara sebagai lembaga baru pengawas PLN plus Menkeu membuka harga pokok produksi per KWH meter sampai di tingkat konsumen. Besaran harga pokok yang bisa memuat: biaya penyusutan pembangkit, biaya distribusi, biaya operasional PLN dan biaya bunga bank (karena PLN punya utang yang menggunung). Dengan tranparansi ini, publik menjadi tahu, setiap rupiah dana subsidi listrik dihitung secara benar dan dapat dipertangung-jawaban akuntabilitasnya. Tugas Menkeu untuk membuka tabir gelap dari subsidi listrik ini, di tengah tekanan fiscal yang berat, tahun 2026 pembayaran utang pokok dan bunga pemerintah diperkirakan sebesar Rp.1,350 T, jumlah angka yang besar.
Dalam APBN tahun 2025 dan 2026 yang tekanan fiscalnya berat, dan ironinya terjadi misalokasi terhadap dana APBN, sebagaimana dinyatakan oleh Asosiasi Ekonom Indonesia, yang menyatakan, jika tidak terjadi revisi kebijakan fiscal yang memadai, ekonomi Indonesia punya potensi mengalami darurat ekonomi.
Dalam potensi risiko ekonomi ini, tindakan Menkeu untuk melakukan transparansi dalam perhitungan subsidi: BBM,listrik, peningkatan efektivitas pemungutan pajak terhadap 200 wajib pajak terbesar, pembenahan segera terhadap cortex system, pemberian sangsi shock terapi bagi pejabat pajak dan bea cukai yang melanggar aturan, pembenahan terhadap manajemen dana APBN dan APBD sehingga tidak ada lagi dana menganggur yang didepositokan di Bank dan atau diminimalkan dana "idle" yang bisa mengundang moral hazard, merupakan langkah penting Menkeu untuk menyelamatkan "kapal"ekonomi Indonesia yang sedang "oleng".
Pembenahan struktural dalam Perekonomian Indonesia, menyebut beberapa peningkatan tax ratio melalui peningkatan efektivitas perpajakan, pembenahan cortex system, transparansi subsidi BBM dan Listrik, pembenahan sistem keuangan negara untuk meminimalkan dana negara yang menganggur, punya potensi melahirkan moral hazard pada ratusan kepala daerah, merupakan tantangan Menkeu Purbaya dalam melakukan pembenahan struktural ekonomi Indonesia.
*) Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi.